Mengapa persimpangan jalan raya
dan jalan bebas hambatan harus dibuat begitu rumit dengan lengkungan, tanjakan
dan turunan?
Ketika
jalan raya dan jalan bebas hambatan mulai dibuat, para insinyur harus
membayangkan cara mengalirkan arus lalu lintas dari jalan raya yang satu ke
jalan raya yang bersilangan tanpa menghentikan lalu lintas yang berlawanan.
Karena di Indonesia lalu lintas berjalan di sebelah kiri, belok kiri bukan
masalah. Kita tinggal masuk ke jalan keluar. Tidak demikian halnya dengan belok
kanan karena ini orang harus memotong arus lalu lintas dari arah depan. Dengan
rancangan seperti jembatan Semanggi, kita dapat berbelok 90 derajat ke kanan
dengan cara berputar 270 derajat ke kiri.
Sekarang
coba bayangkan. Sebuah lingkaran penuh adalah 360 derajat, maka berputar 360
derajat sama dengan kembali ke arah semula. Jika dua buah jalan raya saling
bersilangan saling tegak lurus, belok kanan berarti berputar 90 derajat ke
kanan. Akan tetapi kita akan mendapatkan hasil yang sama dengan berputar tiga
kali ke kiri, masing-masing sebanyak 90 derajat. Ini sama dengan ketika kita ingin
belok ke kanan di jalanan tetapi menjumpai tanda “Dilarang Belok Kanan”. Apa
yang kita perbuat?Biasanya, di persimpangan berikutnya kita boleh belok kiri
tiga kali sampai masuk ke jalan yang dikehendaki. Inilah yang terjadi pada
jembatan semanggi, rancangannya membuat kita berputar 270 derajat menngitari
tiga perempat sebuah lingkaran, sampai menyilang entah ke atas atau ke bawah
arus lalu lintas yang berlawanan sesuai keperluan.
Sebuah
jembatan semanggi atau highway
interchange adalah sebuah jembatan layang dengan rancangan berdaun empat,
bukan dua atau tiga karena ada empat arah arus lalu lintas yang berbeda,
misalnya arah utama, timur, selatan dan barat. Masing-masing harus bisa belok
kanan.(Robert L. Wolke)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar